Istilaheksperimen percobaan dalam psikologi dapat diartikan sebagai suatu pengamatan secara teliti terhadap gejala-gejala jiwa yang kita timbulkan dengan sengaja. Source: slideshare.net. Penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetahui hubungan sebab-akibat antar variabel. DISKUSI Apa kelebihan dan kelemahan case study. Menghitungjumlah skor pada seluruh kotak skor peran secara horizontal, dan jumlah skor harus 45. Menghitung skor "kebutuhan" yaitu dengan menjumlahkan anak panah yang dilingkari baik yang horizontal maupun yang vertical sesuai dengan arah tanda panah. Menjumlahkan jumlah skor pada masing - masing kotak dibawah huruf N, A, P, X, B, O, Z Instrumen Kelebihan. Kelemahan. Ability Test. Dapat memprediksi kinerja pada berbagai jenis pekerjaan dengan cukup baik. Mudah dan murah dalam peng-administrasian. Dapat menyebabkan adverse impact yang tinggi. Khusus pada Physical ability test berbiaya mahal dalam pengembangan dan pengadministrasian. Achievement test. Kelebihandan Kelemahan Rancangan Penelitian Eksperimen. Silahkan baca artikel Kelebihan dan Kelemahan Rancangan Penelitian Eksperimen selengkapnya di NamaBlog Bahwa dalam penelitian eksperimental, terutama pada eksperimen sungguhan dan semu, ada dampak kurang baik pada pengetahuan, psikologi, dan moral subjek (kelompok kontrol) akibat . Penelitian pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapa saja dan dalam bidang apa pun, akan tetapi kebanyakan tujuan melakukan penelitian biasanya untuk memperluas pengetahuan di dunia fisik, biologis, dan sosial. Melalui penggunaan metode penelitian tertentu, salah satunya ialah metode eksperimen. Adapun untuk penelitian eksperimen adalah arti penelitian yang dilakukan dengan cara memanipulasi satu atau lebih variabel bebas untuk diterapkan ke satu atau lebih variabel terikat untuk mengukur pengaruhnya terhadap variabel terikat tersebut. Penelitian eksperimen itu sendiri bisa dibagi lagi menjadi beberapa jenis yang ditentukan berdasarkan cara peneliti menugaskan subjek penelitian pada kondisi dan kelompok yang berbeda, yaitu pra-eksperimen, eskperimen semu, dan eksperimental murni. Dimana pengolahan data untuk mengetahui hubungan tersebut dapat dilakukan dengan statistik dan statistika yang merupakan cara pengolahan data dalam penelitian kuantitatif. Penelitian eksperimen adalah studi yang secara ketat menganut desain penelitian ilmiah, karena mencakup hipotesis penelitian, variabel yang dapat dimanipulasi oleh peneliti, serta variabel penelitian yang dapat diukur, dihitung dan dibandingkan. Atau bisa juga dikatakan bahwa penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan ketika seorang peneliti ingin melacak hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dan variabel terikat. Yang perlu kita ingat bahwa penelitian eksperimental diselesaikan dalam lingkungan yang terkendali. Peneliti mengumpulkan berbagai jenis data penelitian dan hasilnya akan mendukung atau menolak hipotesis. Metode penelitian ini disebut pengujian hipotesis atau metode penelitian deduktif. Kelebihan Penelitian Eksperimen Keunggulan yang ada dalam penelitian eskperimen, diantaranya yaitu Menawarkan tingkat kendali tertinggi Prosedur yang digunakan dalam penelitian eksperimen memungkinkan peneliti mengisolasi variabel tertentu dalam hampir semua topik. Keuntungan yang satu ini memberikan kemungkinan untuk menentukan apakah hasilnya layak. Variabel dapat dikontrol sendiri atau dikombinasikan dengan yang lain untuk menentukan apa yang dapat terjadi ketika setiap skenario diselesaikan. Berguna di setiap industri dan subjek Karena penelitian eksperimen menawarkan tingkat kontrol yang lebih tinggi daripada metode lain yang tersedia. Hal itu menawarkan hasil yang memberikan tingkat relevansi dan spesifisitas yang lebih tinggi. Hasil penelitian kemungkinan memiliki konsistensi yang unggul juga. Memberikan kesimpulan yang spesifik Karena penelitian eksperimen memberikan tingkat kontrol yang tinggi, penelitian ini dapat memberikan hasil yang spesifik dan relevan dengan konsistensi. Keberhasilan atau kegagalan dapat ditentukan, sehingga memungkinkan untuk memahami validitas suatu produk, teori, atau ide dalam waktu yang jauh lebih singkat dibandingkan dengan metode verifikasi lainnya. Mampu mereplikasi pengaturan alam dengan keuntungan kecepatan yang signifikan Penelitian eksperimen memungkinkan untuk mereplikasi pengaturan lingkungan tertentu dalam kontrol pengaturan laboratorium. Struktur ini memungkinkan eksperimen untuk mereplikasi variabel yang membutuhkan investasi waktu yang signifikan. Lebih dapat diduplikasi Penelitian eksperimental bersifat langsung, bentuk penelitian dasar yang memungkinkan duplikasi ketika variabel yang sama dikendalikan oleh variabel lain. Hal ini membantu meningkatkan validitas konsep untuk produk, ide, dan teori. Penelitian eksperimen memungkinkan siapa pun untuk dapat memeriksa dan memverifikasi hasil yang dipublikasikan, yang seringkali memungkinkan hasil yang lebih baik untuk dicapai, karena langkah yang tepat dapat memberikan hasil yang tepat. Memungkinkan diketahuinya hubungan sebab dan akibat dari variabel yang diteliti Manipulasi variabel memungkinkan peneliti untuk dapat melihat berbagai hubungan sebab-akibat yang dapat dihasilkan oleh suatu produk, teori, atau ide. Ini adalah proses yang memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam apa yang mungkin, menunjukkan bagaimana berbagai hubungan variabel dapat memberikan manfaat tertentu. Sebagai gantinya, pemahaman yang lebih besar tentang hal-hal spesifik dalam penelitian dapat dipahami, meskipun pemahaman tentang mengapa hubungan tersebut ada tidak diketahui dalam penelitian ini. Dikombinasikan dengan metode penelitian lain Kita dapat mengombinasikan penelitian eksperimen dengan metode lain untuk memastikan bahwa data yang diterima dari proses ini seakurat mungkin. Hasil yang diperoleh peneliti harus bisa berdiri sendiri untuk diverifikasi agar ada temuan yang valid. Kombinasi faktor-faktor tersebut memungkinkan untuk memberikan informasi yang sangat spesifik sambil menawarkan ide-ide baru ke format penelitian lain secara bersamaan. Kekurangan Penelitian Eksperimen Sedangkan untuk kelemahan dalam penelitian eskperimen, diantaranya yaitu Hasil sangat subjektif karena kemungkinan terjadi kesalahan dari peneliti Karena penelitian eksperimen memerlukan tingkat kontrol variabel tertentu, penelitian ini berisiko tinggi mengalami kesalahan dari peneliti di beberapa titik selama penelitian. Setiap kesalahan, baik sistemik maupun acak, dapat mengungkapkan informasi tentang variabel lain dan itu akan menghilangkan jenis validitas percobaan dan penelitian yang dilakukan. Dapat menciptakan situasi yang tidak realistis Variabel produk, teori, atau ide berada di bawah kontrol yang ketat sehingga data yang dihasilkan dapat rusak atau tidak akurat, tetapi tetap terlihat asli. Ini dapat bekerja dalam dua cara negatif bagi peneliti. Pertama, variabel dapat dikontrol sedemikian rupa sehingga mengarahkan data ke hasil yang disukai atau diinginkan. Kedua, data dapat dirusak agar tampak seperti positif, tetapi karena lingkungan kehidupan nyata sangat berbeda dengan lingkungan yang dikendalikan, hasil positif tidak akan pernah bisa dicapai di luar penelitian eksperimental. Memakan waktu Agar dapat terlaksana dengan baik, penelitian eksperimen harus mengisolasi setiap variabel dan melakukan pengujian terhadapnya. Kemudian kombinasi variabel juga harus dipertimbangkan. Proses ini bisa berlangsung lama dan membutuhkan banyak sumber daya keuangan dan personel. Biaya tersebut mungkin tidak akan pernah dapat diimbangi oleh penjualan konsumen jika produk atau idenya tidak pernah berhasil dipasarkan. Terkadang tidak memberikan penjelasan yang sebenarnya Penelitian eksperimen adalah kesempatan untuk menjawab pertanyaan Ya atau Tidak. Ini akan menunjukkan kepada kita bahwa itu akan berfungsi atau tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, penelitian eksperimental tidak dapat menjawab pertanyaan “Mengapa” untuk memberikan penjabaran yang lebih mendalam pada hasil. Variabel asing tidak selalu bisa dikontrol Meskipun pengaturan laboratorium dapat mengontrol variabel asing, lingkungan alam memberikan tantangan tertentu. Beberapa penelitian perlu diselesaikan dalam suasana alami agar akurat. Mungkin tidak selalu mungkin untuk mengontrol variabel asing karena ketidakpastian alam. Meskipun variabel dikontrol, hasilnya dapat memastikan validitas internal, tapi dengan mengorbankan validitas eksternal. Partisipan dapat dipengaruhi oleh situasi mereka saat ini Kesalahan manusia tidak hanya terbatas pada para peneliti. Partisipan dalam studi penelitian eksperimen juga dapat dipengaruhi oleh variabel asing. Dalam percakapan dengan peneliti, mungkin ada ketertarikan fisik yang mengubah tanggapan partisipan. Bahkan pemicu internal, seperti ketakutan akan ruang tertutup, dapat memengaruhi hasil yang diperoleh. Juga sangat umum bagi partisipan untuk “mengikuti” apa yang menurut mereka ingin dilihat oleh peneliti daripada memberikan tanggapan yang jujur. Memanipulasi variabel belum tentu merupakan sudut pandang yang objektif Agar penelitian efektif, itu harus objektif, tapi memanipulasi variabel dapat mengurangi objektivitas tersebut. Meskipun ada manfaat untuk mengamati konsekuensi dari manipulasi yang dilakukan, namun manfaat itu mungkin tidak memberikan hasil realistis yang dapat digunakan di masa depan, karena pengambilan sampel hanya mencerminkan sampel yang diteliti dan hasilnya mungkin tidak dapat diterapkan pada populasi secara umum. Itulah tadi penjelasan yang bisa diberikan pada semua kalangan tentang adanya kelebihan penelitian eksperimen dan kekurangan dalam melakukan penelitian eksperimen. Menurut Kurt Lewin 1935, 1936, 1951, Psikologi Sosial memahami perilaku sebagai fungsi dari individu dalam merespon lingkungan. Namun, bagaimana lingkungan ini digambarkan? Lingkungan yang seperti apa? Karena lingkungan sendiri merupakan perpotongan dari berbagai konteks sosiokultural, maka Branscombe & Byron 2017 menawarkan sebuah formula baru terkait dengan manusia yang menarasikan diri dalam identitasnya. “Siapa diri kita” — atau katakanlah identitas kita — akan memengaruhi pikiran dan perilaku, pemahaman psikologi seseorang diperkaya dengan rangkaian berikut ini Konteks Sosial / Pengalaman => Identitas Diri => Perilaku Sosial. Formula tersebut bisa dibaca demikian konteks hidup seseorang akan menawarkan pengalaman hidup bukan life experience, melainkan lived experience tertentu yang kemudian menentukan identitas seseorang yang kemudian terekspresikan dalam perilaku. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitiannya, Manstead 2018 menemukan bahwa kondisi material di mana seseorang tumbuh, hidup, dan berkembang menentukan bagaimana identitas memengaruhi cara kita berpikir dan merasakan hal di sekitar kita. Berbeda dengan orang-orang kelas menengah, orang kelas bawah cenderung tidak mendefiniskan diri berdasarkan status sosial-ekonomi, memiliki konsep diri yang saling bergantung, menjelaskan peristiwa berdasarkan situasi, dan memahami persoalan dalam dunia terjadi karena kontrol diri yang rendah. Persoalan kelas sosial-ekonomi juga menentukan empati dan kemungkinan menolong yang dikatakan Manstead 2018 lebih ditampilkan oleh kelas sosial-ekonomi menengah. Bukan kemudian secara alamiah kelas sosial-ekonomi menengah ini lahir dengan naluri menolong yang lebih besar, melainkan perilaku tersebut juga ditentukan oleh kondisi material atau sumber daya yang dimiliki. Artinya, situasi deprivatif merasa kekurangan yang terjadi dalam kelas bawah menunjukkan adanya ketidakberimbangan distribusi sumber daya. Sebagaimana ilmu-ilmu lain, Psikologi Sosial menawarkan rangkaian nilai dan metode dalam rangka memahami formula di atas. Psikologi Sosial mendasarkan pada empat nilai dasar 1 Akurasi; 2 Obyektivitas; 3 Skeptisisme; dan 4 Keterbukaan pikiran Branscombe & Byron, 2017. Akurasi dipahami sebagai komitmen untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi mengenai dunia dalam kehati-hatian, ketepatan, dan meminimalisir kekeliruan. Dalam akurasi ini, perbedaan perspektif akan memengaruhi cara pandang terhadap suatu masalah. Misalnya, alasan-alasan orang yang mengalami depresi akan berbeda satu sama lain. Ada yang depresi karena putus cinta, tetapi ada pula yang depresi karena kondisi sosial ekonominya tidak memadai. Sementara itu, obyektivitas merupakan komitmen untuk memperoleh dan mengevaluasi informasi dengan sebisa mungkin menghindarkan bias dalam membangun gagasan. Selanjutnya adalah skeptisisme yang merupakan komitmen untuk terus-menerus mempertanyakan temuan lewat verifikasi. Verifikasi ini mengandaikan bahwa temuan merupakan gagasan yang senantiasa berubah. Terakhir adalah keterbukaan pikiran, yang mana mensyaratkan keterbukaan dalam perubahan cara pandang apabila bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa temuan lama sudah tidak lagi relevan. Bentuk keterbukaan ini bukan sekadar terhadap gagasan orang lain, tetapi juga gagasan yang muncul dari kritik-diri self-critique Jovanović, 2011. Berdasarkan pada keempat semangat di atas, tulisan ini berminat menjelaskan bagaimana teori dan metode dipraktikkan dalam Psikologi Sosial. Setelah penjabaran teori dan metode yang umumnya digunakan dalam metode Psikologi Sosial, selanjutnya akan diberikan ulasan kritis serta beberapa contoh penelitian terapan di Indonesia. Pada bagian akhir juga akan digagas beberapa model perspektif alternatif yang muncul dari teori kritis critical theory. Sebagai pembuka bagian ini, berikut akan dijelaskan beberapa metode dan perspektif yang “biasanya” dijadikan dasar teori dalam Psikologi Sosial. Metode dalam Psikologi Sosial Branscombe & Byron 2017 menuliskan bahwa ada tiga metode yang seringkali digunakan dalam Psikologi Sosial, yakni observasi sistematik, statistik korelasi, dan eksperimen. Dalam observasi sistematik, dikenal dua model; pertama adalah observasi alamiah naturalistic observation dan kedua adalah survei. Dalam observasi sistematik, peneliti melakukan pengamatan dengan hati-hati dan pengukuran yang akurat terhadap perilaku yang spesifik dari manusia. Dengan melakukan observasi alamiah, peneliti berarti melakukan pengamatan perilaku dalam latar hidup alami manusia. Tugas peneliti adalah mencatat perilaku apa saja yang terjadi dalam konteks hidup manusia dan tanpa ada intervensi terhadap perilaku. Pada metode kedua, yakni survei, peneliti memberikan pertanyaan yang kemudian akan direspon oleh para responden terkait dengan sikap atau perilaku mereka. Pada praktiknya, para psikolog sosial seringkali menggunakan metode ini untuk mengetahui gambaran sikap terhadap sebuah isu sosial tertentu, misalnya sikap terhadap aborsi, legalisasi mariyuana, atau pilihan politiknya. Dalam praktik di bidang lain, para peneliti menggunakan survei untuk mengetahui respon terhadap suatu produk. Melalui survei, responden penelitian dapat diperoleh dengan lebih mudah – apalagi ditambah dengan hadirnya internet. Dalam melakukan survei, seorang peneliti perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama adalah terkait sampling, yang mana orang yang berpartisipasi dalam survei harus secara representatif mewakili populasi tertentu. Berikut adalah cara penghitungan ukuran sampel berdasarkan model Slovin Blair & Blair, 2015. Gambar 1. Rumus Slovin Keterangan n ukuran sampel N ukuran populasi e margin of error Meskipun demikian, pengambilan data mengenai survei juga seringkali dipertanyakan apakah benar-benar bisa menggambarkan kondisi individu. Sebagai contoh, apabila dalam survei terkait kebahagiaan yang mengisi hanya orang yang merasa bahagia, maka yang terjadi adalah survei ini tidak bisa mengukur perbedaan antara yang bahagia dengan yang tidak bahagia. Demikian juga, tidak menutup kemungkinan apabila yang mengisi survei tersebut adalah mereka yang tengah merasa tidak bahagia dan dengan mengisi survei tersebut justru berharap menjadi bahagia. Belum lagi, konsep soal kebahagiaan bisa beragam. Ada yang merasa bahagia karena memiliki uang atau merasa bahagia karena memiliki intimitas dengan orang lain. Selain isu soal sampling, cara penyampaian kata dalam pertanyaan juga seringkali menjadi problematis. Misalnya, dalam survei kebahagiaan kita menanyakan “Seberapa bahagia dirimu dalam hidupmu yang sekarang?” akan dijawab berbeda apabila pertanyaannya demikian “Bandingkan dengan hari paling bahagia yang pernah kamu alami, seberapa bahagia kondisi hidupmu saat ini?” Kedua pertanyaan tersebut memungkinkan dua jawaban berbeda. Dalam pertanyaan pertama maupun kedua; orang diwajibkan menjawab dengan ukuran kuantitatif, tetapi jawaban tersebut mereduksi kualitas kebahagiaan ke dalam bentuk angka-angka. Pertanyaannya kemudian, apakah persoalan kebahagiaan bisa diwakili dengan angka-angka? Metode lain yang memiliki kemiripan dengan survei adalah korelasi. Korelasi berusaha untuk mencari hubungan antarvariabel inferensial. Istilah korelasi merujuk pada kecenderungan sebuah hal diasosiasikan dengan perubahan-perubahan dalam hal lain. Hal atau aspek yang dapat berubah ini kemudian disebut sebagai variabel, yang memiliki nilai berbeda. Ketika ada sebuah korelasi, maka adalah mungkin untuk memprediksi sebuah variabel dari informasi terkait variabel lain. Prediksi tersebut kita kenal dengan istilah hipotesis yang kemudian diuji secara statistik dan memberikan kesimpulan umum terkait korelasi antar-variabel. Pertanyaan dalam penelitian korelasi misalnya “Apakah ada korelasi antara jumlah uang yang disumbangkan variabel bebas seseorang dengan tingkat kebahagiaannya variabel tergantung?” Nilai korelasi berkisar antara 0 sampai -1,00 atau +1,00. Semakin mendekati +1,00 atau -1,00, maka nilainya semakin besar dan dengan demikian akan dianggap memiliki prediksi yang lebih akurat dari korelasi antarvariabel. Dalam mengukur korelasi, kita memerlukan sebuah hipotesis yang diturunkan dari konsep-konsep yang telah dikaji sebelumnya. Misalnya, ada pertanyaan mengenai “Apakah ada hubungan antara kepribadian seseorang dengan status di Facebook-nya?” Pertama kita perlu melihat mengukur atau mengidentifikasi kepribadian para responden, baru kemudian melihat status Facebook-nya. Meskipun demikian, kita tidak bisa menentukan mengapa sebuah korelasi bisa kuat atau lemah, kita hanya bisa mengatakan ada korelasi. Masih terkait dengan survei, persoalan kemudian muncul dengan gagasan bahwa sebuah ilmu pengetahuan mestinya bisa menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” Ratner, 2006. Metode ketiga adalah eksperimen. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam eksperimen, pertama adalah kekuatan sebuah variabel yang memengaruhi aspek perilaku sosial yang berubah dan kedua adalah efek perubahan yang bisa diukur. Misalnya pengukuran soal “Apakah dengan menonton tayangan yang penuh kekerasan akan meningkatkan kemungkinan untuk melakukan agresi terhadap orang lain?” Pertanyaan ini bisa dijawab lewat eksperimen dengan menayangkan video yang mengandung unsur kekerasan atau bermain aplikasi yang mengandung unsur kekerasan. Setelah melihat video tersebut, para peserta, misalnya, diminta untuk memberikan sambal ke dalam sebuah gelas dan mengatakan bahwa gelas tersebut akan diminum orang lain dalam rangka percobaan sensitivitas terhadap rasa. Apabila ditemukan bahwa mereka yang melihat tayangan kekerasan memberikan sambal yang lebih banyak dibanding mereka yang tidak melakukan kekerasan, maka dapat disimpulkan bahwa tayangan kekerasan meningkatkan kecenderungan untuk melakukan perilaku agresi. Meskipun demikian, dalam eksperimen tersebut, bisa jadi ada variabel lain yang menyebabkan kekerasan tidak berlanjut pada agresi atau bahkan menambah partisipan menjadi lebih agresif. Variabel ini disebut dengan variabel pengacau/perancu/pengangguconfounding variable. Misalnya, dalam eksperimen tersebut ada bantuan dari asisten di mana ada asisten yang menyampaikan tata cara eksperimen secara kasar dan ada pula asisten yang ramah. Apabila diterapkan pada partisipan, persepsi bahwa para asisten berlaku kasar ini mungkin saja akan mengacaukan atau menambah perilaku lebih agresif. Contoh lain adalah apabila partisipan memiliki tingkat empati yang tinggi, bukankah ini juga akan berpengaruh terhadap pemberian sambal? Pengukuran empati ini bisa dijadikan bentuk adanya variabel mediasi mediating variable yang apabila tidak dipertimbangkan justru menjadi confounding variable. Dalam hal ini, pengabaian terhadap variabel-variabel lain yang mungkin menyumbang terjadinya suatau perilaku memungkinkan interpretasi menjadi tidak tepat. Selain itu, ada juga pertimbangan validitas eksternal yang seringkali dibahas dalam variabel eksperimen. Pertimbangan tersebut misalnya Bagaimana temuan dalam eksperimen ini ketika diterapkan dalam kehidupan nyata dengan kondisi lingkungan dan orang-orangnya yang berbeda? Apakah kehidupan sosial kita bisa digambarkan secara tepat lewat sebuah eksperimen? Gambar 2. Contoh Variabel Pengacau/Perancu/Penganggu Apabila kita amati, metode yang telah disebutkan di atas cenderung bernuansa kuantitatif. Mengapa dalam psikologi sosial metode kualitatif tidak dibahas oleh Branscombe dan Byron 2017? Padahal, intensi psikologi sosial adalah memahami perilaku manusia dalam konteks hidupnya. Dengan menafikan kualitas pengalaman manusia, bukankah berarti justru mengkhianati tujuan awal Psikologi Sosial, yakni memahami perilaku sebagai fungsi dari individu dalam merespon lingkungan? Guna menjawab hal tersebut, kita akan melanjutkan pada perspektif teori, baru kemudian kita akan menyentuh pertanyaan tersebut. Perspektif Teoretis yang Biasanya dalam Psikologi Sosial Branscombe & Byron 2017 menyatakan, setidaknya, ada tiga perspektif utama yang berkembang dalam kajian Psikologi Sosial, yakni psikoanalisis, perilakuan, dan gestalt. Perspektif psikoanalisis digawangi oleh Freud yang menyatakan bahwa “perilaku dimotivasi dari dalam oleh dorongan dan impuls internal yang kuat, seperti seksualitas dan agresi.” Freud meyakini bahwa konflik psikologis orang dewasa merupakan stagnansi tahap perkembangan psiko-seksual oral, anal, phallic, laten, genital. Sebagai contoh, seorang perokok adalah mereka yang mengalami ketidakberesan pada tahap perkembangan oral. Ketergantungan oral ini merupakan kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang ketika saraf-saraf di sekitar bibirnya dirangsang. Teori ini kemudian dikritik karena dianggap terlampau deterministik, bahwa manusia ditentukan oleh tahap psikoseksual dan cenderung biologis. Kedua adalah teori perilakuan yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov dan Skinner. Teori ini lebih berfokus pada apa yang bisa diamati. Para behavioris tidak tertarik dengan pemikiran dan perasaan subyektif. Kebanyakan dari mereka melakukan penelitian eksperimen yang menempatkan perilaku hewan seperti tikus, merpati, atau anjing juga sebagaimana terjadi pada manusia. Sebagai contoh adalah penelitian Pavlov dengan melihat respon anjing. Pada tahap pertama, Pavlov memperlihatkan makanan pada seekor anjing yang kemudian mengeluarkan air liur. Dalam kondisi ini, makanan disebut sebagai Unconditioned Stimulus UCS dan air liur disebut sebagai Unconditioned Response UCR. Pada tahap kedua, dibunyikan bel sebagai stimulus netral, tentu saja air liur anjing tidak keluar. Pada tahap ketiga, bel dibunyikan bersamaan dengan dihadirkannya makanan UCS, maka air liur anjing akan keluar UCR. Pada tahap keempat, bel dibunyikan Conditioned Stimulus/CS tanpa dihadirkannya makanan, hasilnya air liur anjing keluar Conditioned Response/CR. Apa yang luput dibahas dalam teori perilakuan, juga psikoanalisis klasik, adalah agensi manusia. Gambar 3. Teori Pengkondisian Klasik Pavlov Perspektif ketiga adalah Psikologi Gestalt yang dikembangkan oleh Wolfgang Köhler, Kurt Koffka, Kurt Lewin dan beberapa psikolog Eropa yang pada tahun 1930an imigrasi ke Amerika. Menurut mereka, manusia membentuk persepsi yang koheren utuh dan bermakna berdasarkan keseluruhan, bukan berdasarkan bagian-bagian. Ketika Anda bertemu dengan pacar Anda, apakah Anda hanya memperlakukannya sebagai kumpulan dari kaki lengan, kepala, dan tubuh? Menurut Gestalt, Anda akan memperlakukan ia sebagai seorang manusia utuh, tidak melihatnya dalam bagian yang terpisah. Eksperimen Köhler 1925 menggunakan seekor simpanse yang diberi stimulus berupa pisang yang tingginya tidak terjangkau. Dalam kandang simpanse, Köhler menata peti-peti yang ditumpuk. Simpanse kemudian memindahkan peti-peti tersebut untuk meraih pisang. Dalam eksperimen ini, Köhler menyimpulkan bahwa simpanse dapat menyimpulkan keterkaitan antara hal-hal di sekitarnya untuk memecahkan masalah – pun dengan manusia. Ketiga teori tersebut didasarkan pada model ilmu alam – bahkan yang dijadikan percobaannya adalah jenis binatang tertentu. Misalnya dalam psikoanalisis, Freud mendasarkan diri pada hukum termodinamika energi dari ilmu fisika. Salah satu hukum termodinamika berbunyi demikian “Energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan oleh manusia; tetapi bisa berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain.” Apabila diterapkan dalam kehidupan psikis, maka apabila seseorang merepresi hasratnya untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain, maka energi seksual tersebut akan terekspresikan dalam bentuk lain; masturbasi, melukis, membuat film, atau berdoa. Pemunculan ekspresi ini tampak dalam keseharian kita seperti dalam mimpi, selip lidah, selip tulisan, karya seni, atau humor Freud, 1917/2015. Freud 1917/2015 pernah menceritakan bahwa seorang perdana menteri pernah diminta membuka sebuah acara, tetapi dalam pidatonya malah mengatakan “Dengan demikian, acara ini resmi ditutup!” Mengapa demikian? Freud menjelaskan bahwa kesalahan ucap tersebut didasari oleh keinginan si perdana menteri untuk segera mengakhiri acara. Selain contoh tersebut,bagaimana energi psikis dipindahkan displaced, Anda dapat mengamati humor di bawah ini – yang mana menceritakan soal pemindahan energi dan juga terekspresikan dalam kesalahan ucap. Makan di Hotel Adi memiliki pacar baru bernama Sandra. Suatu kali, ia mengajak Sandra untuk makan di sebuah restoran yang berada di hotel terkenal di kotanya. Ketika ia hendak memesan segelas wine dan dua buah salad, ia mengatakan pada pelayan demikian “Kami pesan sebuah kamar dengan dua buah tempat tidur.” Apabila berdasar pada humor di atas, kita tidak bisa sekadar menyimpulkan bahwa karena ada yang direpresi makanya Adi salah ucap. Lebih jauh daripada hal tersebut, perlu dicari tahu mengapa dan bagaimana si Adi bisa salah ucap dengan konteks pengucapannya di hotel. Persoalan pendekatan dengan model ilmu alam membuka peluang untuk melihat manusia layaknya mesin yang mekanis atau bahkan sama dengan hewan. Artinya, menurut tradisi akademis ilmu alam ini, ada sebuah teori universal tentang perilaku manusia. Tidak terelakkan lagi, tradisi positivistik yang pesat berkembang di Amerika Utara menjadi gejala bahwa penelitian Psikologi terkadang hanya mengulang teori-teori yang sudah mapan. Kondisi tersebut kemudian memunculkan resistensi terhadap gaya berpikir Psikologi yang umumnya menyamaratakan kondisi manusia, meskipun pada kenyataannya subyek yang dijadikan penelitian adalah mereka yang berada dalam kategori WEIRD Western, Educated, Industrialized, Rich, and Democratic – yang memiliki karakteristik berbeda dengan negara-negara Selatan, misalnya Indonesia. Beberapa Perkembangan Psikologi Sosial Kontemporer McFadden 2017 menyatakan bahwa dalam Psikologi Sosial, pandangan konservatif seringkali mewarnai penelitian. Misalnya pembagian biologis-anatomis manusia ke dalam dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Dengan cara berpikir heteronormativitas ini, homoseksualitas dipandang sebagai sesuatu yang tidak alamiah dan dengan demikian dianggap menyimpang atau bahkan penyakit. Implikasinya bisa lebih jauh dibutuhkan intervensi psiko-medis. Meskipun demikian, setidaknya setelah tahun 1960an, seksualitas dipandang sebagi pilihan gaya hidup, orientasi seksual, atau identitas alih-alih ditentukan oleh gen, hormon, atau gangguan bagian otak tertentu. Dalam perkembangannya, seksualitas dihadirkan sebagai sebuah konsep historis, dikonstruksi lewat banyak wacana dalam konteks hukum, religiusitas, medis, dan ilmiah. Dengan pengaruh historis dari wacana ini, konsep mana yang normal dan mana yang tidak kemudian menentukan cara berpikir seseorang. Dari kasus ini, manakah metode penelitian yang sesuai? Apakah observasi, korelasi, atau eksperimen? Perdebatan mengenai seksualitas tersebut coba untuk mendobrak anggapan umum terkait bagaimana seksualitas didefinisikan, karenanya dibutuhkan metode penelitian yang tidak bisa dijawab ketiga metode di atas. Oleh karena itu, perlunya penjelasan epistemologis mengenai bagaimana sebuah temuan dianggap benar dan tidak benar oleh suatu masyarakat pada saat dan tempat tertentu – dengan kata lain; konstruksi pengetahuan Foucault, 1969/2002. Sebelum masuk ke lebih jauh, kita perlu mengetahui dua hal penting dalam pemahaman keilmuan dan cara pandang Psikologi Sosial terhadap manusia. Pemahaman keilmuan ini yang disebut dengan epistemologi. Dalam melakukan kajian soal pengetahuan dan bagaimana pengetahuan tersebut dianggap benar, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam epistemologi adalah Kondisi macam apa yang diperlukan sebuah pengetahuan menjadi sah disebut pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan tersebut? Bagaimana struktur dan batasan pengetahuan tersebut? Sementara dalam penilaian bahwa sebuah pengetahuan itu “benar”, kita dapat bertanya Mengapa ada suatu konsep yang dianggap lebih “benar”? Bagaimana konsep “benar” ini dicapai? Oleh karena itu, dalam perkara demikian, epistemologi menekankan pada penciptaan dan penyebaran atau diseminasi pengetahuan. Dalam Psikologi, epistemologi yang umum berlaku adalah soal bagaimana mengukur, menjelaskan, dan memprediksi perilaku. Hanya perilaku atau sesuatu yang tangible saja yang bisa diukur. Dalam episteme seperti ini, maka bentuk asumsi yang sifatnya “realis” akan lebih diterima. Asumsi realis ini mengandaikan bahwa kita hanya merespon apa yang terjadi dalam dunia eksternal, artinya kita tidak punya peranan untuk mengonstruksi/dikonstruksikan realitas. Pendekatan epistemologi ini tentu saja akan memberikan hasil yang berbeda apabila fokusnya pada kesadaran — tak melulu perilaku. Ketika berfokus pada kesadaran, maka baik yang tangible maupun yang intangible akan menjadi fokus. Berfokus pada kesadaran berarti menganggap manusia sebagai agen yang terus-menerus membangun dunianya; bahwa manusia memiliki intensi. Sifat kontinuitas ini mengandaikan bahwa cara pandang kita terhadap dunia akan senantiasa berubah. Gaya konstruksionis ini lebih kentara dalam disiplin Antropologi, Sosiologi, atau ilmu sosial kritis – belakangan juga di Psikologi lihat seri tulisan Konstruksionisme Sosial dalam oleh Harimurti, 2020. Sebagai contoh bagaimana melihat yang intangible, perhatikan humor berikut Lenin di Polandia Seorang seniman ditugaskan untuk membuat lukisan untuk merayakan persahabatan Soviet-Polandia. Lukisan tersebut diberi judul “Lenin di Polandia.” Ketika lukisan itu diresmikan di Kremlin, para tamu undangan kebingungan; lukisan itu menggambarkan Nadezhda Krupskaya istri Lenin telanjang di tempat tidur bersama Leon Trotsky. Seorang tamu bertanya, “Wah, ini mengada-ada! Di mana Lenin?” Yang kemudian dibalas oleh si pelukis, “Lenin ada di Polandia.” Žižek, 2014 Menurut Cosgrove, Wheeler, & Kosterina 2015, cara pandang realis berakar pada masa Pencerahan di Eropa abad ke-18. Pada era ini, matematika menjadi bahasa yang dapat diterapkan pada disiplin keilmuan lain, yakni lewat kuantifikasi dalam berbagai bidang ilmu, termasuk dalam hal ini adalah laboratorium Wundt 1879 yang menjadi penanda lahirnya ilmu Psikologi. Sepanjang terjadinya proses perkembangan teknologi dan industri, dibutuhkan sesuatu yang bisa digunakan untuk melakukan kontrol. Karena itu, digunakanlah tes dan eksperimen laboratorium dalam Psikologi sebagai salah satu kekuatan politik. Penggunaan Psikologi dan profesi sebagai ahli psikologi ini mendatangkan banyak keuntungan dari para ilmuwan Psikologi terutama dengan ada standarisasi norma pengetesan. Profesionalisasi ini berbarengan dengan hadirnya rangkaian nilai dan menempatkan Psikologi dalam meja kerja yang positivistik, obyektif, dan keyakinan akan bebas-nilai Cosgrove, Wheeler, & Kosterina, 2015. Namun, dapatkah sebuah ilmu menjadi bebas-nilai? Asumsi obyektivitas dan bebas-nilai menuai kritik dalam cara mendekati manusia. Terkhusus pada ciri bebas-nilai atau netral, tidak mungkin sebuah ilmu hanya digunakan untuk kepentingan ilmu itu sendiri. Suatu temuan dalam keilmuan memiliki implikasinya. Ingat Carl von Linne? Lebih daripada hal tersebut, sebuah ilmu hendaknya berguna bagi kesejahteraan bersama common good di masyarakat. Dari cara mendekati manusia yang melulu bersifat mengontrol dan mendisiplinkan ini, muncul gagasan mengenai bagaimana sebaiknya manusia dipahami dalam ilmu psikologi. Atau, perlu dilihat ontologi dalam psikologi. Pertanyaan ontologis yang fundamental dalam psikologi adalah Apa yang sebaiknya menjadi subyek penelitian dalam psikologi, perilaku atau kesadaran pengalaman hidup? Komitmen epistemik seperti apa yang dipegang psikologi untuk perjuangan mendefinisikan diri dan menafsirkan tujuannya sebagai sebuah ilmu? Dari pertanyaan ontologis ini muncul berbagai kritik terhadap pendekatan kuantitatif yang bisa kita lihat lebih luas hubungan antara epistemologi bagaimana dunia/pengalaman/perilaku yang nyata dan ontologi sebetulnya apa dunia/pengalaman/perilaku yang nyata. Pertanyaan ini secara tidak langsung memberi kritik terhadap metode eksperimen dan kuantitatif. Teo 2018 menunjukkan bahwa refleksi ontologis dalam psikologi idealnya diarahkan pada apa yang mestinya dipelajari psikologi, karakteristik unik subyek psikologis atau kompleksitas obyek dan kejadian psikologis? Refleksi ontologis tersebut terarah pada pendekatan kualitatif yang cenderung merayakan kompleksnya pemahaman terhadap fenomena psikologis. Namun, dalam hal ini patut kita tegaskan bahwa kita tidak berfokus pada mana yang lebih baik, kuantitatif atau kualitatif. Karena selama ini dominasi keilmuan dalam Psikologi Sosial cenderung kuantitatif, maka kita mesti berfokus pada kenapa banyak ditemukan kelemahan dalam penelitian sebuah ilmu dikatakan berkembang apabila self-critique juga berlangsung? Tidak jauh berbeda dengan kuantitatif, kualitatif sendiri tidak sedikit yang dilakukan dalam kerangka positivistik – yang menekankan pada bukti empiris, teramati, dan pengulangan teori demi sebuah analisis general pada semua konteks.. Edmund Husserl dalam Cosgrove, Wheeler, & Kosterina, 2015 mengatakan bahwa pada awal 1900an ada perubahan besar dalam ilmu pengetahuan, yakni dari deskripsi ke kausalitas. Perubahan tanpa dasar filosofis yang kuat ini kemudian mendorong psikologi untuk melakukan penelitian yang sifatnya membuat kesadaran sebagai subyek yang alamiah, tidak terpengaruh dari dunia luar atau agensi manusia. Atau dengan kata lain, sudah ada cetak biru atau rumus pasti dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi penelitian demikian, terciptalah dikotomi antara subyek/obyek. Pembagian dikotomis tersebut diikuti dengan asumsi bahwa pengalaman hidup lived experience merupakan sesuatu yang dengan mudah bisa diukur. Asumsi ini membentuk psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan tertentu positivistik dan empiris, yang meyakini bahwa ilmu alam merupakan jalan paling valid untuk mendapatkan pengetahuan. Asumsi ini, tentu saja, tidak berhasil mengapresiasi konteks sosiopolitik sebagai dasar dari pengalaman. Apabila hendak melakukan transformasi, maka psikologi perlu untuk melakukan konseptualisasi-ulang posisinya sebagai ilmu manusia yang punya dasar yang lebih konstruksionis. Konseptualisasi ulang ini bukan berarti menjauhkan kuantitatif dari psikologi, melainkan melihat kuantitatif sebagai sumber yang menyediakan data interpretif yang bisa diselidiki lebih jauh, bukan sekadar data yang obyektif. Penyelidikan interpretif ini harus bersifat refleksif, pendekatannya kontekstual, dan tidak menghamba-diri pada cara pandang klasik di mana kuantitatif atau eksperimen dianggap sebagai jalan paling valid dan terpercaya untuk memperoleh pengetahuan. Beberapa Contoh Penelitian Psikologi Sosial Ada sebuah penelitian yang amat terkenal dari Solomon Asch 1956. Asch mengumpulkan beberapa orang ke dalam satu ruangan. Dalam kumpulan orang yang sudah disuruhnya tersebut confederates, seorang partisipan dimasukkan. Mereka lalu diberitahu bahwa mereka akan menjalani sebuah tes psikologi secara visual untuk menentukan kesamaan panjang garis. Posisi para peserta diatur dan partisipan ditempatkan pada bagian paling akhir. Kemudian disajikan sebuah gambar garis utama yang dijejerkan garis A, B, dan C. Tugas para peserta adalah menjawab, garis mana yang sama dengan garis utama, garis A, B, atau C? Para orang suruhan sengaja menjawab salah. Ternyata, sebanyak 37 dari total 50 partisipan mengikuti jawaban dominan yang salah. Kebanyakan orang yang diwawancara setelah percobaan mengaku tidak percaya dengan jawaban dominan, namun karena takut dianggap salah, maka tetap menjawab sesuai jawaban dominan Branscombe & Byron, 2017. Diketahui kemudian bahwa dalam proses pelaksanaan eksperimen ini, tidak sedikit orang yang menjawab tepat. Artinya, dalam penelitian ini terdapat bias konfirmasi. Gambar 4. Stimuli dalam Eksperimen Konformitas Asch Penelitian lain yang tak kalah populer adalah yang dilakukan Stanley Milgram 1974. Penelitian eksperimen soal kepatuhan menuai berbagai kritik. Kritik utamanya adalah terkait bahwa para guru yang dijadikan partisipan penelitian menolak untuk memberi hukuman tegangan listrik terhadap para murid yang salah menjawab. Meskipun demikian, si eksperimenter memintanya untuk meneruskan; “Mohon teruslah.”, “Eksperimen ini butuh untuk kamu teruskan.”, “Penting untuk kamu teruskan.”, atau “Kamu sudah sampai sini, kamu harus meneruskan.” Dari kondisi ini, maka kritik kedua, terkait bahwa eksperimen ini bukan soal kepatuhan, melainkan lebih pada penerapan persuasi Gibson & Smart, 2017. Selain dua penelitian yang amat populer secara internasional tersebut, ada pula penelitian-penelitian yang patut kita amati pada konteks nasional. Misalnya penelitian yang dikerjakan oleh Muluk, Sukmaktoyo, dan Ruth 2013. Mereka menunjukkan bagaimana kekerasan suci atas nama agama dimungkinkan dengan adanya pembenaran atas nama jihad. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, narasi dalam melakukan kekerasan suci berkutat pada jihad, religiusitas, fundamentalisme, dukungan hukum Islam, atau persepsi ketidakadilan. Namun, Muluk, Sukmaktoyo, dan Ruth 2013 menunjukkan bahwa kekerasan suci, misalnya pada serangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik 2011, lebih didorong oleh pandangan jihad. Faktor-faktor lain seperti ketidakadilan tidak ditemukan dalam penelitian ini. Tapi mengapa faktor-faktor lain tidak muncul? Muluk, Sukmaktoyo, dan Ruth 2013 menjelaskan bahwa; pertama, adanya kemungkinan bahwa mereka yang percaya pada jihad kekerasan juga percaya bahwa jihad diperintahkan oleh Tuhan dan merupakan kewajiban bagi semua Muslim. Dengan begitu, jihad sendiri menjadi bagian yang tidak dapat disangkal dari hukum Islam. Kedua, jihad mungkin dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan dalam hal ini melihat syariah diterapkan. Meskipun demikian, penelitian ini minim dalam menjelaskan mengapa pandangan jihad ini menjadi faktor yang penting dalam konteks Indonesia. Kita dapat membandingkan penelitian ini dengan temuan Sidel 2006 yang menekankan bahwa persoalan kekerasan atas nama agama merupakan persoalan absennya subjek Islam dalam konteks Indonesia kolonial hingga Indonesia kontemporer. Atau lebih spesifik lagi, adanya rasa ketidakberartian dalam konteks nasional yang kemudian diadopsi oleh subyek yang melakukan jihad Harimurti, 2018. Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Maison, Marchlewska, Syarifah, Zein, dan Purba 2018 terkait dengan tanda halal pada makanan. Makanan yang memenuhi persyaratan halal ditandai dengan label halal pada kemasan dan harus sangat menarik bagi orang-orang Muslim yang mengikuti seperangkat hukum diet yang diuraikan dalam Al-Quran. Penelitian ini meneliti peran label halal isyarat eksplisit dan negara asal country-of-origin isyarat implisit dalam memprediksi persepsi produk positif di kalangan konsumen Muslim. Mereka berhipotesis bahwa ketika tanda eksplisit “kehalalan” yaitu, label halal yang berkaitan dengan produk tertentu disertai dengan tanda implisit dari “kehalalan” yaitu, informasi negara asal non-Islam, konsumen Muslim yang memperhatikan hukum diet Islam akan memiliki persepsi negatif terhadap produk semacam itu. Hasilnya, label halal itu sendiri memiliki pengaruh terbatas pada persepsi produk. Mereka juga menemukan bahwa persepsi produk yang positif menurun secara signifikan di antara orang-orang yang tinggi dalam perilaku pembelian berbasis agama dalam menanggapi paparan informasi negara asal non-Islam disertai dengan label halal. Sebagai kesimpulan, orang-orang yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang rendah dalam perilaku pembelian berbasis agama tampaknya tidak mempercayai makanan berlabel halal yang diproduksi di negara dengan tradisi selain Islam. Tapi mengapa? Bagaimana penjelasannya? Sementara itu, dalam penelitiannya yang mulai mengakomodasi konstruksionisme, Giawa dan Nurrachman 2018 berusaha menggambarkan bagaimana rasa malu digambarkan oleh generasi muda di Jakarta. Mereka menunjukkan bahwa “generasi muda di Jakarta memaknai malu sebagai sesuatu yang dikaitkan dengan ketidakyakinan pada diri sendiri, peristiwa yang menimbulkan penilaian negatif dari orang lain, tampilan fisik yang tak ideal, pelanggaran pada prinsip-prinsip moralitas dan ketidaksesuaian pada etiket. Kelima hal tersebut dipahami, diyakini, dan dijalankan oleh generasi muda di Jakarta dalam memaknai rasa malu. Selain itu, ditemukan juga sejumlah makna lain, tetapi sifatnya masih berubah-ubah. Perubahan itu tergantung pada konteks sosial dimana generasi muda tersebut berada. Makna yang didapatkan ini berkaitan dengan prestasi yang rendah, ketidakdisiplinan, melakukan kesalahan, dan tidak aktif/berinisiatif.” Giawa & Nurrachman, 2018. Penelitian ini menjelaskan apa yang memungkinkan terjadinya pergeseran konsep rasa malu yang pada masa kolonialisme diarahkan pada urusan sosial. Meskipun, proses perubahan konsep malu belum dielaborasi dengan lebih detil atau etnografis. Penelitian seperti ini layak untuk terus dilakukan, ada faktor kontekstualitas dan historisitas yang beroperasi dalam pembentukan rasa malu. Berbagai penelitian dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum sempurna terjawab tersebut mendorong Psikologi sebagai sebuah ilmu yang hidup di tengah masyarakat, perlu untuk terus mendefinisikan dan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang ada dalam ruang hidup manusia. Perdebatan mengenai kapitalisme, gender, kekerasan, pendidikan, budaya populer, atau ekologi bisa dipertimbangkan sebagai topik-topik yang “wajib” digarap dalam lingkup Psikologi. Singkat kata, persoalan Psikologi bukan cuma yang individual saja, tetapi juga yang sosial. Bukan cuma mendiagnosis saja, tapi juga mempertanyakan diagnosis tersebut; siapa yang diuntungkan dan dipinggirkan dengan penciptaan konsep diagnosa tersebut. Terlebih lagi, pada praktiknya kita tidak bisa membuat batas tegas mana yang persoalan individual dan mana yang persoalan sosial Burr, 1995. Ada persoalan epistemologis yang perlu segera dibereskan bahwa kaitan antara individu dengan masyarakat bersifat resiprokal yang individual ya sosial dan yang sosial ya individual. Daftar Acuan Asch, S. E. 1956. Studies of independence and conformity I. A minority of one against a unanimous majority. Psychological Monographs General and Applied, 70, 1–70. Blair, E., & Blair, J. 2015. Applied survey sampling. Sage Publications. Branscombe, & Baron, 2017. Social psychology 14th ed., global ed.. Pearson. Burr, V. 1995. An introduction to social constructionism. Routledge. Cosgrove, L., Wheeler, & Kosterina, E. 2015. Quantitative methods Science means ends. Dalam I. Parker. Handbook of critical psychology. Routledge. Foucault, M. 1969/2002. The archaeology of knowledge trans. A. M. Sheridan Smith. Routledge. Freud, S. 1917/2015. A general introduction to psychoanalysis. Wordsworth Editions Ltd. Giawa, & Nurrachman, N. 2018. Representasi sosial tentang makna malu pada generasi muda di Jakarta. Jurnal Psikologi, 17, 1, 77-86. Gibson , S. & Smart, C. 2017. Social influence. Dalam B. Gough ed., The Palgrave handbook of critical social psychology. Palgrave. Harimurti, A. 2018. Kisah Yusuf Adirima Menjadi orang beragama, menjadi orang berguna? Dalam Prihatmoko & A. Harimurti, Mencari peran psikologi dalam Indonesia masa kini. Yogyakarta Sanata Dharma University Press. Jovanović, G. 2011. Knowledge and interest in psychology From ideology to ideology critique. ARCP 9, 10-29. Köhler, W. 1925. The mentality of apes. Kegan, Trench, Harcourt, Brace and World. Lewin, K. 1935. A dynamic theory of personality. McGraw-Hill. Lewin, K. 1936. Principles of topological psychology. McGraw-Hill. Lewin, K. 1951. Field theory in social science Selected theoretical papers. Harper & Row. Maison, D., Marchlewska, M., Syarifah, D., Zein, Purba, 2018. Explicit versus implicit “halal” information Influence of the halal label and the country-of-origin information on product perceptions in Indonesia. Frontiers in Psychology, 9, 382. Manstead, 2018. The psychology of social class How socioeconomic status impacts thought, feelings, and behaviour. British Journal of Social Psychology, 572, McFadden, M. 2017 Sexual identities and practices. Dalam B. Gough ed., The Palgrave handbook of critical social psychology. Palgrave. Milgram, S. 1974. Obedience to authority An experimental view. Harper & Row. Muluk, H., Sukmaktoyo, & Ruth, 2013. Jihad as justification National survey evidence of belief in violent jihad as a mediating factor for sacred violence among Muslims in Indonesia. Asian Journal of Social Psychology, 16, 101–111. Ratner, C. 2006. Cultural psychology A perspective on psychological functioning and social reform. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Sidel, J. 2006. Riots, pogroms, jihad Religious violence in Indonesia. Cornell University Press. Teo, T. 2018. Outline of theoretical psychology. Palgrave Macmillan. Žižek, S. 2014. Žižek’s jokes. MIT Press. Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku manusia, dimana setiap pemikiran dan tingkah laku manusia tentu saja membuat banyak orang merasa bahwa ilmu psikologi merupakan ilmu yang tidak pasti dan juga berkembang mengikuti manusia itu Karakter ManusiaTipe Kepribadian ManusiaHakikat Manusia dalam Perspektif PsikologiJenis-jenis KepribadianMacam – macam Gangguan JiwaPadahal ilmu ini sering dianggap enteng oleh orang banyak. Padahal mempelajari psikologi merupakan hal yang kompleks dan cukup sulit. Karena itulah dengan menggunakan cara metode penelitian atau metode yang mutlak akan membantu ilmu psikologi menjadi lebih jelas dan juga Psikologi SastraTeori Psikologi PerkembanganPsikologi DiagnostikPsikologi RemajaMacam-macam BakatMeskipun berilmu sosial, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan psikologi merupakan hal yang berkaitan dengan pengalaman dan juga survei. Metode ini tumbuh atau hadir karena adanya metode penelitian sebellumnya dengan eksperimen beberapa orang. Apa saja metode yang ada dalam penelitian psikologi ? Berikut ini beberapa contoh metode – metode psikologi Metode EksperimentalMetode eksperimental umumnya dilakukan di dalam laboratorium dengan cara melakukan eksperimen sesuai dengan namanya, atau biasa disebut percobaan. Peneliti yang melakukannya memiliki kontrol penuh terhadap jalannya suatu eksperimen, sehingga tanggung jawabpun kembali pada para peneliti itu sendiri. Mereka juga menentukan akan melakukan apa pada sesuatu yang akan diteilitinya, kapan akan melakukan penelitian, seberapa sering melakukan penelitiannya, dan jugaMacam-macam Sindrom Pada ManusiaMacam-macam Metode PembelajaranCiri-ciri SkizofreniaTanda-tanda StressTips Meningkatkan Daya OtakMetode Observasi IlmiahDilihat dari namanya maka tentu anda tahu bahwa metode ini dilakukan dengan observasi ilmiah, yakni suatu hal pada situasi – situasi yang ditimbulkan tidak dengan sengaja. Melainkan dengan proses ilmiah ataupun secara spontan. Metode observasi dalam psikologi banyak dilakukan untuk mempelajari tingkah laku khususnya pada objek yang ingin diangkat kasusnya. Baca Terapi Perilaku KognitifObservasi alamiah ini dapat diterapkan pula pada tingkah laku yang lain, misalnya saja tingkah laku orang – orang yang berada di toko serba ada, tingkah laku pengendara kendaraan bermotor di jalan raya, tingkah laku anak yang sedang bermain, perilaku orang dalam bencana, dan jugaCara Menjadi Pribadi yang DewasaTipe Kepribadian MBTICiri-ciri Wanita PsikopatCara Meningkatkan Kecerdasan EmosionalCara Menghilangkan Rasa Takut yang BerlebihanMetode Sejarah Kehidupan BiografiBiografi mungkin sering kita lihat berupa sebuah buku. Metode tulisan mengenai kehidupan seseorang yang merupakan riwayat hidup yang diharapkan dapat menginspirasi dan menceritakan tokoh tersebut, di dalam biografi, orang menguraikan tentang keadaan, sikap – sikap ataupun sifat – sifat lain mengenai orang yang Menghilangkan Sifat EgoisFakta Kepribadian Anak BungsuBig Five PersonalityKecerdasan Emosional dalam PsikologiGejala ADHD pada BayiMetode InterviewMetode interview merupakan cara pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan keterangan atau pendirian responden, dengan melalui sebuah percakapan langsung atau berhadapan muka. Namun menurut ahli Moh. Nazir menyatakan bahwa interview atau wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau yang dinamakan interview guide panduan wawancara. Metode ini sangat populer untuk mengetahui lawan bicara Bipolar DisorderTips Sukses di Usia MudaCara Menjadi Pribadi yang MenyenangkanTeori Belajar KognitifCara Mengatasi InsomniaMetode Angket / KuesionerMetode angket atau umumnya disebut sebagai metode kuesioner yaitu metode atau cara dengan memanfaatkan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden. Selain itu angket biasanya berisikan data dengan pertanyaan yang ditanyakan secara jujur namun tidak membawa identitas diri agar responden mengisikan dengan benar dan juga jujur apa yang mereka pikir dan ingin ekspresikan dalam jawaban tersebut. Angket bisa menjadi data yang dianggap valid namun keabsahannya tidak pernah ada yang data yang dibuat bisa dimanipulasi, yang termasuk psikotes adalah Tes Army Alpha, Tes Efektifitas Diri, Tes Enneagram, Tes EPPS, Tes MBTI, Tes Ketelitian, Tes Kode dan Ingatan, Tes TPA Kuantitatif, Logika, Verbal & Spasial, Tes MAPP, Tes Motivasi Kepemimpinan, Tes Motivasi, Tes Koran Pauli, Tes Skala Kematangan TSK, Tes Kerjasama dan Tes Potensi jugaKognitif, Afektif, dan PsikomotorikPsikologi Perkembangan Anak Usia DiniTeori Psikologi KepribadianTeori Psikososial EriksonTeori Belajar dalam PsikologiMetode Cross SectionalPenelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali sehingga tidak ada pengulangan dalam pengambilan data penelitian. Selain itu tidak ada follow up, untuk mencari hubungan antara variabel independen faktor resiko dengan variabel dependen efek. Mungkin jika dilihat datanya tidak terlalu bervariasi, namun mengambil satu kejadian saja. Jika ditanyakan tentang dimana titik potongnya? Bayangkanlah penelitian itu seperti lontong, dimanapun kamu memotong lontong itu, di tengah, dari ujungnya, di sisi manapun itu, lontong itu tetap memiliki isi yang sama, besar yang sama, dan rasa yang sama. Sehingga penelitian ini mengganggap bahwa hal tersebut bukanlah efek yang besar dan sulit namun menghasilkan hasil yang maksimal dan jugaMacam-macam KecerdasanTeori Perkembangan Anak Menurut Para AhliMacam-macam Gaya BelajarAkibat Depresi KepanjanganPengertian Minat Menurut Para AhliMetode KlinisMenurut James Drawer dalam kamus “The Penguin Dictionary of Psychology”, istilah “clinic” atau klinik dapat diartikan sebagai tempat diagnosa dan pengobatan berbagai gangguan, fisik, perkembangan atau kelakuan. Apakah anda tahu bahwa psikologi termasuk kedalam ilmu klinis alias kesehatan ? meskipun psikologi mempelajari mengenai sosial seseorang. Hal inilah mengapa metode penelitian psikologi klinis disebut sebagai jenis metode dalam psikologi yang berusaha menyelidiki sejumlah individu yang memiliki kelainan-kelainan secara teliti dan intensif serta dalam batas waktu yang lama. Selain itu metode klinis menangani kasus yang jelas dan juga tepat Sosial Perkembangan Bahasa Anak Usia DiniPerkembangan Kognitif Anak Usia DiniCabang – Cabang PsikologiPsikologi Sosial Desain Satu KasusJika dilihat dari desain sebuah kasus, metodologi penelitian dalam psikologi memiliki hal yang unik. Dimana desain satu kasus mempunyai satu persamaan dengan desain studi kasus dan desain eksperimental. Dalam desain satu kasus, diukur perilaku individu sebelum dan sesudah perlakuan, dan hal ini dilakukan dalam situasi eksperimen. Desain satu kasus adalah perwujudan atau bentuk daripada pendekatan perilaku, yang mengutamakan spengukuran perilaku jugaPersepsi dalam PsikologiTeori Belajar BehavioristikTahap Perkembangan Emosi AnakKonsep Diri Dalam PsikologiKode Etik PsikologiContohnyaSalah satu contoh desain satu kasus yang dapat direncanakan ialah perlakuan misalnya terhadap seseorang anak dengan perilaku agresif. Diruang terapi, anak diamati beberapa jam ataupun selama beberapa hari tergantung sebagaimana aktif anak tersebut. Setelah itu dicatat perilaku agresif apa saja yang ia tampilkan, dan dicatat frekuensinya situasi A. kemudian diberikan perlakuan, yakni apablia anak memperlihatkan perilaku baik, maka ia diberi imbalan. Perlakuan ini dipertahankan selama beberapa jam/beberapa hari, dan dicatat lagi perilaku anak yang positif, yakni duduk diam B. Setelah itu, kembali lagi anak dibiarkan seperti situasi A, yakni tidak diberikan perlakuan. Setelah itu kembali diberlakukan situasi Multiple BaselineKadangkala situasi pemberian imbalan seperti yang terjadi pada situasi B tidak mudah untuk ditiadakan demi pertimbangan etis. Dalam desain ganda dilakukan hal yang sama dengan kasus anak perilaku agresif, namun desain ABAB itu diberlakukan dalam dua situasi, yakni di rumah dan di ruang terapi. Yang diamati dan dicatat base-line nya adalah dalam dua situasi, yakni situasi di ruang terapi dan situasi di rumah. Dalam situasi terapi tidak perlu diadakan peniadaan imbalan. Penghentian imbalan dilakukan hanya dalam situasi di rumah. Apabila peningkatan perilaku positif selalu terjadi menyusul perlakuan pemberian hadiah. Maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan itulah yang menyebabkan bertambahnya perilaku positif dan berkurangnya perilaku campuranDalam desain ini teknik eksperimental dan teknik korelasi digabung. Sebagai contoh rancangan penelitian yang dikemukakan Davison & Neale pada tahun 1990 ialah penelitian mengenai efektivitas tiga jenis terapi pada penderita gangguan psikiatrik tertentu. Bila pasien untuk masing-masing jenis terapi tersebut. Dianggap sebagai masing-masing satu kelompok muka salah atu jenis terapi itu mungkin terlihat lebih berhasil. Namun bila pasien dalam tiga jenis terapi itu dibedakan dalam kelompok dengan ganggauan parah dan gangguan ringan, maka kesimpulannya bisa berbeda untuk tiap kelompok jugaPsikologi Industri dan OrganisasiProspek Kerja Lulusan PsikologiCara Mendidik Anak HiperaktifDepresi dalam PsikologiPola Asuh Anak Usia DiniDemikian penjelasan terkait beberapa metode penelitian psikologi yang biasa digunakan untuk riset terkait apa asaja ang berkaitan dengan psikologi. semoga bermanfaat. Metode Eksperimental Dan Non-Eskperimental Dalam Psikologi Metode Eksperimental Dalam Psikologi Non-Eskperimental Dalam Psikologi Metode Dalam Psikologi Di samping metode Longitudinal dan Metode Cross-Sectional dalam penelitian psikologi digunakan pula metode a eksperimental dan b non-eksperimental. Metode eksperimental adalah di mana peneliti dengan sengaja menimbulkan keadaan yang ingin diteliti. Sedangkan metode non-eksperimental adalah peneliti mencari atau menunggu sampai dijumpai keadaan atau situasi yang ingin diteliti, jadi mencari situasi yang ada dalam keadaan wajar natural. Baca Juga Pengertian Model Pembelajaran Adalah – Ciri, Jenis, dan Fungsi Dalam penelitian eksperimental peneliti dengan sengaja menimbulkan keadaan atau situasi yang ingin diteliti atau dengan kata lain peneliti menggunakan perlakuan atau treatment, yang ingin diketahui akibat dari treatment tersebut. Prinsip dalam eksperimen adalah ingin mengetahui efek suatu perlakuan yang dikenakan oleh peneliti terhadap keadaan yang dikenainya. Dalam eksperimen treatment merupakan variabel bebas independent variable, sedangkan perubahan yang terjadi merupakan variabel tergantung dependent variable. Baca Juga Manajemen Peserta Didik – Pengertian, Tujuan, Fungsi, Prinsip, Pendekatan dan Ruang Lingkup Manajemen Peserta Didik Selain ciri adaya perlakuan, maka dalam eksperimen diperlukan adanya kontrol untuk dapat mengontrol apakah perubahan betul-betul sebagai akibat dari adanya perlakuan tersebut. Karena itu dalam eksperimen diperlukan adanya kelompok kontrol di samping adanya kelompok eksperimen. Dengan diadakannya metode eksperimen dalam psikologi, maka timbullah psikologi eksperimental. Baca Juga Multimedia Pembelajaran Adalah – Pengertian, Manfaat, Keunggulan, Fungsi, dan Prinsip Eksperimen dapat digunakan dalam berbagai macam psikologi, misalnya dalam psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri, dan sebagainya, sehingga timbul psikologi sosial eksperimental experimental social psychology, psikologi pendidikan eksperimental experimental education psychology dan yang lain-lain. Karena itu menurut Morgon, dkk. 1984. Baca Juga Media Pembelajaran Adalah – Pengertian, Manfaat, Jenis, Fungsi, Klasifikasi, Kriteria, dan Contoh Media Pembelajaran Untuk membedakan psikologi eksperimen dengan psikologi-psikologi yang lain tidak hanya terletak pada metode yang digunakan, tetapi juga terletak dari apa yang dibicarakan atau diteliti. Dengan demikian akan jelas bahwa untuk membedakan antara psikologi eksperimetal dengan yang lain, tidak hanya sekedar terletak pada metode yang digunakan, tetapi juga pada isi, pada apa yang dibicarakan what is studies. Digunakan eksperimen dalam psikologi mengalami beberapa perkembangan hingga sampai pada tingkat eksperimen yang sebenarnya. Agar eksperimen mencapai hasil yang sebaikbaiknya, agar dapat diketahui dengan tepat apakah perubahan atau pengaruh itu benar-benar sebagai akibat perlakuan yang dikenakan, maka diperlukan adanya kelompok kontrol untuk membandingkan antara yang dikenai perlakuan eksperimen dengan yang tidak dikenai perlakuan. Baca Juga Desain Pembelajaran Adalah – Pengertian, Fungsi, dan Model Desain Pembelajaran Apabila semua keadaan dikontrol dengan baik, dan adanya perbedaan yang diyakinkan antara yang dikenai perlakuan dan yang tidak, maka dapat dikemukakan bahwa pengaruh itu memang benar dari perlakuan yang dikenakan. Untuk mengontrol variabel-variabel dengan secara baik pada umumnya eksperimen dilakukan pada tempat tertutup, dalam laboratorium. Dalam laboratorium atau eksperimenter akan mengontrol secara baik variable-variabel yang perlu dikontrol, dan eksperimen akan tidak terganggu oleh situasi-situasi lain yang tidak di kehedaki dalam eksperimen. Baca Juga Belajar Mandiri Adalah Pengertian, Ciri Ciri dan Ragam Prosesnya Namun demikian salah satu kelemahan apabila eksperimen dijalankan dalam laboratorium, situasi dalam laboratorium merupakan situasi yang tidak wajar, situasi yang dibuat. Situasi itu dapat mempengaruhi perilaku subjek. Karena itu eksperimen di samping dilakukan dalam laboratorium juga dilaksanakan di alam wajar, agar situasinya juga wajar. Namun dengan jalan ini salah satu kelemahan yang timbul ialah eksperimen akan mudah terpegaruh oleh variabel-variabel lain yang dapat menggangu jalan serta hasil eksperimen. Baca Juga Metode Pembelajaran Adalah Pengertian, Prinsip, Fungsi, dan Macam-Macam Berhubungan dengan hal tersebut maka baik eksperimen dalam laboratorium maupun di luar laboratorium dalam arti tempat yang tertutup, kedua-duanya ditempuh dengan memperhatikan syarat-syarat eksperimen agar dapat dicapai hasil yang sebaik-baiknya. Baca Juga Strategi Pembelajaran Adalah Pengertian, Macam-Macam, Komponen dan Unsur Di samping itu juga ada usaha untuk menggabungkan antara kedua sifat itu menjadi satu, yaitu penggabungan antara keadaan yang di dalam alam wajar dengan alam laboratorium. Hal ini dijumpai dalam penelitian yang menggunakan one way vision screen yang umumnya digunakan untuk penelitian anak-anak. Baca Juga Guru Adalah ? Pengertian, Tugas, Peran dan Tanggung Jawab

kelebihan dan kekurangan metode eksperimen dalam psikologi